Friday, August 23, 2013

Daily 7 Habits

Jika Anda ingin perubahan kecil, ubah perilaku Anda; jika Anda ingin perubahan bak lompatan kuantum, ubah paradigma Anda. (Stephen R. Covey)

Case 1

Saya bekerja dalam sebuah organisasi IT support yang menangani beberapa aplikasi yang dipakai oleh sebuah perusahaan. Masing-masing aplikasi dipakai oleh beberapa orang user dalam lintas organisasi. Tugas utama kami adalah memastikan aplikasi bisa dioperasionalkan dengan baik, mirip seperti tukang service motor. Kami juga menangani perubahan-perubahan kecil yang diinginkan oleh user. Jadi asumsi dan harapan kami bahwa selama aplikasi tidak bermasalah, maka mereka tidak usah menghubungi kami, kecuali sekali-sekali mereka ingin malakukan perubah kecil itupun dengan skala prioritas yang rendah.

Masalah, ada 1 organsasi, kita sebut A, yang sangat sering minta perubahan-perubahan dalam aplikasinya, sehingga kami sampai keteteran untuk memenuhi permintaan mereka.

Perubahan perilaku, kami akhirnya harus datang lebih pagi, pulang lebih malam untuk bisa menyelesaikan permintaan user A.

Perubahan paradigma, kami mundur ke belakang, mencoba melihat dari sisi lain, sebenarnya apa maksud dari permintaan user A yang terus menerus. Pada waktu tertentu kami mengajak diskusi mereka, mengapa mereka melakukan perubahan terus menerus padahal organisasi lain cukup jarang melakukan perubahan. Beberapa hal adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan merupakan suatu inovasi yang menjadi point penting dalam penilaian kinerja mereka.
  2. Permintaan yang dimunculkan sekarang merupakan permintaan lama yang dahulu tidak dikabulkan.
  3. Ada tuntutan dari pihak management untuk melakukan perubahan.
  4. Ada tuntutan dari pihat ketiga (misal: auditor) untuk melakukan perubahan.

Pada point ke-3 dan ke-4 adalah suatu hal keharusan, sedangkan point ke-1 dan ke-2 adalah hal yang bisa di-pending. Akhirnya saya bisa memahami sudut pandang mereka dan hanya bisa pasrah. He… he… he…

Friday, August 16, 2013

Mudik Lebaran 2013 Masehi

Perjalanan Mudik

Sudah sejak 3 bulan yang lalu, aku memesan tiket mudik untuk tanggal 2 Agustus 2013. Bangun pagi-pagi mengharapkan tiket Gayajana, namun ketika membuka website reservasi KAI kira-kira jam 05.00 tiket Gajayana sudah habis. Hanya tersisa tiket Majapahit, kelas ekonomi AC dengan harga 300 ribu dengan keberangkatan pada tanggal 2 Agustus pukul 15.15. Pada saat itu harga tiket Gajayana 600 ribu. Sebenarnya pada waktu itu masih ada tiket Matarmaja dengan harga kurang lebih 150 ribu (lupa-lupa inget). Dengan jam keberangkatan nanggung itu, aku bakalan harus cuti setengah hari.

Pada tanggal 2 Agustus hari Jumat, dalam suasana bulan Ramadhan yang sangat indah, aku pulang kantor jam 11.30. Ternyata sampai perjalanan pulang, Jumatan belum dimulai, sehingga aku masih sempat pulang ke kost untuk ganti sandal dan wudhu, akhirnya Jumatan di mesjid dekat kost. Nyaman sekali bisa Jumatan di dekat kost, tempatnya longgar, suasananya sangat hommy (serasa di rumah sendiri), beda sekali dengan suasana Jumatan di mesjid dekat kantor, sangat sumpek, tergesa-gesa, sehingga kurang terasa khusyu.

Setelah Jumatan aku segera berkemas-kemas, langsung menuju jalan raya untuk naik P20 menuju ke Senen. Meski dengan beban yang berat, namun tetap semangat, karena keinginan untuk bertemu dengan keluarga di kampung halaman. Mampir dulu ke Atrium untuk beli mamin (makanan minuman) dan sebuah dompet mungil di Pasar Senen seharga 35 ribu. Meski banyak penjual mainan anak-anak, aku tidak menengok sedikitpun, karena mainan anak-anak hanya akan bertahan rata-rata 1 bulan yang akhirnya menjadi sampah, mengotori ruangan. Anak sekarang lebih suka main sejenis iPad dan tablet Android. Jadi daripada untuk membeli mainan-mainan sampah itu, lebih baik ditabung untuk membeli iPad. Betul kan?

Aku menunggu kira-kira 45 menit di stasiun Senen, cukup kaget dengan suasana yang jauh berbeda. Lebih bersih, tertib, dan rapi dibandingkan stasiun Senen masa lalu. Baru aku akui gebrakan IJ ternyata mantap, malah terbilang cukup revolusioner, semoga ke arah yang lebih baik. Karena tujuan akhir dari suatu perubahan adalah peningkatan manfaat buat stakeholder.

Tepat pukul 15.15 kereta Majapahit berangkat. Aku duduk sebangku dengan seorang pemuda Magetan dengan tujuan Madiun. Seperti biasa ngobrol kesana-kemari, dia bilang kereta Majapahit telat 1 jam sudah biasa. Hmmm… ternyata tidak berubah dari dulu yang namanya masih Senja Kediri, ngaret sampai 2 jam juga sudah biasa. Jadi, buat rekan-rekan yang butuh ketepatan dengan toleransi 0.5 jam, jangan sekali-sekali naik kereta api Majapahit, sangat sangat sangat tidak disarankan. Tingkat keterlambatannya bahkan melebihi angkutan bus yang biasa terlambat karena macet atau ngetem. Parah deh pokoknya, dan aku rasa ini bukan cuma pas Lebaran saja, namun hampir setiap hari mengalami keterlambatan ini. Pada saat buka puasa, sudah hampir sampai Cirebon, aku minum juice kacang hijau ABC dan air putih. Ketika kereta berhenti di stasiun Prujakan, hampir semua penumpang menyerbu kantin stasiun. Aku mendapatkan empal gentong dengan harga 13 ribu, sungguh lezat di suasana saat itu. Rasanya mirip sekali dengan gulai kambing khas Trenggalek. Makan sahur di stasiun Madiun dengan menu sego pecel pincuk kira-kira pukul 03.30.

Kira-kira pukul 06.00 kereta sampai stasiun Tulungangung, dengan rekor telat 1.5 jam. Ruarrr biasa. Klo menurutku seharusnya inilah yang seharusnya menjadi prioritas pak IJ, ketepatan waktu, agar bisa bersaing dengan moda transportasi yang lain. Dengan langkah gontai, karena kecapekan, aku telpon ibu apakah dijemput atau tidak. Ternyata aku akan dijemput bareng dengan istriku dari Surabaya nanti jam 10.00. Wah, masih lama banget. Akhirnya diputuskan aku akan menunggu di mesjid Alun-Alun Tulungagung yang sangat nyaman dan bersih. Di mesjid tersebut, aku sempat ngobrol-ngobrol dengan seorang takmir sampai bapak, ibu, dan Revan datang menjemputku. Ardan rupanya masih sekolah sehingga tidak bisa menjemput. Kami langsung menuju terminal bus untuk menjemput istriku dan Varen. Setelah semua naik mobil, kami belanja barang-barang rumah tangga dulu di Weringin. Saat itu cuaca sangat menyengat di Tulungagung, membuat tak sabar ingin segera pulang. Setelah selesai belanja, kami langsung menuju Bandung, lewat Campurdarat. Di Bandung, berhenti lagi untuk belanja dan sekalian sholat Dhuhur. Selesai belanja, kami langsung pulang ke Prigi.

Perjalanan ke Malang

Tanggal 7 Agustus 2013 kami sekeluarga mudik ke Malang dari Prigi dengan menggunakan jasa travel Sinar Jaya. Jam 08.00 kami sekeluarga berangkat dari Prigi diantar oleh bapak sampai Durenan. Sampai di Bandung, sopir travel sudah telpon kalau mereka sudah ada di Durenan. Kami berangkat dari Durenan dengan penumpang cuma 1 orang soko Ponorogo plus keluargaku, jadi bener-bener longgar. Harga per orang 65K dan kondisi mobilnya sangat sesuai dengan harganya. Sebuah Isuzu Elf tua warna biru, tanpa AC, jok oscar kaku usang, tanpa music, dan berdebu, mirip dengan angkutan pedesaan Durenan – Prigi dengan kelebihan reclining seat. Meski dengan segala keterbatasan, namun perjalanan tetap aku nikmati. Dalam perjalanan antara Tulungagung – Blitar, anakku yang nomor 2 mulai mabuk, mungkin kondisi yang kurang nyaman, sedangkan 2 anakku yang lain tidur dengan nyenyak. Selama perjalanan, aku juga lebih banyak tidur, keadaan yang longgar, mobil yang kurang nyaman jadi alasan untuk malas membuka mata. Jalanan sangat sepi, sehingga kami bisa sampai di rumah mertua pada pukul 13.00, lumayan cepat padahal sempat berhenti cukup lama di Blitar.

Selama di Malang, kegiatan lebih banyak di rumah, padahal malam itu merupakan malam Idul Fitri, yang biasanya sangat ramai di jalan-jalan dan mesjid. Pada malam Idul Fitri, di rumah sangat sepi, adik iparku sama mertuaku jalan-jalan keluar, sedangkan aku dan keluarga di rumah. Setelah sholat Maghrib di mesjid AL deket rumah, aku jalan-jalan untuk mencari udara segar dan mencari makanan kecil semacam mie pangsit. Susah sekali menemukan penjual makanan, ketemu soto ayam namun malas karena sudah agak bosan dengan menu soto, akhirnya ketemulah warung tahu telor. Tahu telor plus lontong seharga 8000 segera berpindah ke perutku. Lumayan untuk camilan malam hari raya dan sekedar mengobati rasa ingin mencoba makanan di tanah Malang.  Selama di Malang, udara sangat dingin, sehingga aku tidak pernah mandi, hanya membersihkan muka dan sikat gigi. Mungkin ini suatu rekor, selama 2 hari 2 malam tidak mandi.

Tanggal 8 Agustus 2013 kami sholat Idul Fitri di lapangan pangkalan AL di deket rumah. Aku sudah sering sekali ke Malang, namun baru kali ini bisa masuk ke dalam kompleks AL. Sholat Idul Fitri dilakukan di lapangan tennis yang telah dialasi tikar dan karpet. Ketika kami datang ke lokasi, sholat Ied sudah hampir dimulai, aku duduk bersama dengan Ardan dan Revan, sedangkan Varen bareng sama mama-nya. Khotib menyampaikan khotbah dengan singkat, padat, dan jelas. Tidak ada acara salam-salaman seperti yang biasa aku lakukan di Prigi.

Setelah selesai sholat, kami dan sebagian besar jamaah menyempatkan diri untuk menikmati taman di dalam pangkalan AL. Ada kolam renang dan kolam ikan yang cukup besar. Yang cukup menarik, di sekeliling kolam ikan itu berdiri patung prajurit, mortir bekas, dan selongsong bom. Beberapa jamaah tidak lupa mendokumentasikan aktivitasnya, sedangkan aku lupa tidak melakukannya.

Tanggal 9 Agustus 2013 kami sekeluarga balik lagi ke Prigi dengan menumpang mobil dik Vano. Pada mulanya kami akan menumpang travel, namun tidak jadi. Karena melakukan pembatalan mendadak, kami didenda 50% dari tarif normal, sekitar 130 ribu rupiah. Kami berangkat sekitar jam 10, mampir dulu ke toko oleh-oleh untuk beli tempe kripik. Di perjalanan menuju Kepanjen, kami membeli dulu klengkeng dengan harga 35 ribu per kilo. Mahal bangettt ya. Jalanan sangat ramai, sehingga pukul 13.00 lepas dari Kepanjen, kami baru sampai di Durenan sekitar pukul 17.00.

Balik ke Jakarta

Akhirnya tibalah waktu balik ke Jakarta dengan menumpang kereta api Majapahit pada tanggal 14 Agustus 2013 pukul 16.26. Tak lupa membawa bekal nasi iwak rengis dan beberapa bungkus jajan hari raya. Sampai di Jakarta tepat pukul 08.10, padahal sesuai jadwal di tiket pukul 05.30, jadi telat 2.5 jam lebih. Ruarrrrrrrrrrrrrr biasa. Kesimpulan dari cerita ini adalah sangat tidak direkomendasikan naik kereta api Majapahit kecuali sangat terpaksa. Jika ingin menghemat lebih baik naik Matarmaja sekalian atau Gajayana. Ini kereta sangat nanggung, tidak layak untuk dijadikan pilihan perjalanan.