Tuesday, May 20, 2014

Mudik Liburan Waisak 2014 Matarmaja - Majapahit

Perjalanan Mudik
14 Mei 2014 12:00

Hari ini, Rabu, 14 Mei 2014, aku cuti setengah hari. Kira-kira 2 bulan sebelumnya aku sudah rencana untuk pulang mudik pada tanggal 14 Mei. Meski pada bulan Mei banyak hari kejepit, tanggal 14 Mei dan minggu terakhir di bulan Mei. Rupanya pilihanku di tanggal 14 Mei tepat, karena pada akhir bulan Mei aku ga bisa pulang, di kantor lagi sibuk mengerjakan proyek. Dan kenapa aku beli tiket Matarmaja dan Majapahit, karena aku juga tidak bisa yakin bisa pulang tanggal tersebut, sehingga tidak terlalu rugi jika harus di-cancel. Tau sendiri kan, biaya cancel sekarang 25% dari harga tiket. Jadi cukup gede jika harus meng-cancel tiket Gajayana yang waktu itu sudah bertengger di angka 525 ribu. Akhirnya beli lah aku tiket Matarmaja 65 ribu untuk mudik dan Majapahit 240 ribu untuk balik. Waktu istirahat makan siang, aku langsung bergegas pulang ke kost. Tidak kuhiraukan ajakan temen-temen untuk makan bareng di Bakmi Bangka Lorong. Sesudah ganti baju yang lebih pas buat di kereta, aku langsung menuju jalan Rasuna Said, buat nyetop P20. Cukup lama aku menunggu kira-kira 15 menit. Ketika ada ojeg lewat, aku hampir nyerah buat minta nganterin dia ke Pasar Senen, ga lama kemudian lewat-lah P20 yang kutunggu-tunggu. Untung ga terlalu penuh, sehingga aku dapat tempat duduk. Sesampai di perempatan Jl. Diponegoro macetnya parah banget, namun aku lirik jam kayaknya masih agak lama, jadi aku masih tenang. Singkat kata, sampailah di Pasar Senen jam 13.00, jadi masih ada waktu 40 menit lagi. Karena waktu masih lama, aku mencari makan di Pasar Senen yang digelar di jalan raya. Aku pikir di pasar lebih murah daripada di warung-warung deket kantor, ternyata nasi ayam sama sayur harus aku tebus 15 ribu, dimana dengan menu yang sama hanya seharga 12 ribu di belakang kantor. Cukup sekali lah, buat pelajaran. Setelah dapat makan, aku langsung masuk ke dalam stasiun, makan nasi yang baru aku beli dan langsung sholat Jamak Qashar Dhuhur – Ashar.

14 Mei 2014 13:40

Tepat sesuai jadwal, kereta berangkat. Suasana kereta tidak terlalu penuh, padahal ini termasuk libur yang cukup panjang jika ditambah hari kejepit, bahkan bangku di sebelahku, dan 1 bangku di depanku kosong. Kebanyakan kereta diisi oleh anak-anak muda yang bawa tas besar dan dilihat dari bajunya, mereka adalah para pecinta alam. Karena banyak anak mudah, suasana kereta jadi ramai, meski tidak terlalu penuh. Ada yang main kartu, nonton film di hp, main game di ipad, telpon berjam-jam, dan ngobrol ngalor ngidul. Hal yang menarik adalah petugas reska bolak-bolak nawarin nasi goreng, seakan-akan tidak ada makanan lain. Namun, karena aku hanya membawa air refil dari kost, akhirnya aku beli Club botol besar pada petugas reska seharga 8000, dimana diluar maximal kira-kira 5000 saja. Efek dari tidak adanya asongan sungguh luar biasa. Suhu udara cukup dingin berkat 6 buah AC split, bahkan menjelang sore aku sudah mengenakan jaket karena kedinginan. Hal yang benar-benar belum berubah adalah kursi yang sangat keras dan toilet yang sangat bau.

14 Mei 2014 16:50

Sampailah kereta di stasiun Cirebon Prujakan. Kereta berhenti kira-kira 10 menit di stasiun ini. Pada jaman dulu, stasiun ini terkenal dengan pedagang-pedagang makanan dan souvenir yang murah-murah (dibandingkan dengan stasiun di Jakarta). Pada saat itu, hampir setiap kali aku menyempatkan diri beli makanan di stasiun ini pada asongan yang lewat. Meski tidak terlalu enak, namun lebih bernilai daripada beli di reska. Jadi kebiasaan itu aku teruskan lagi, namun aku tidak beli di asongan, namun ke satu-satunya warung nasi yang ada disitu. Sepertinya mereka sudah siap menghadapai orang-orang yang kelaparan seperti aku, jadi mereka sudah menyediakan beberapa paket, yaitu nasi rames 7000, nasi telur 10.000, nasi daging 15.000, nasi ayam 16.000. Akhirnya aku putuskan beli nasi telur seharga 10.000. Setelah kereta berangkat, aku segera membuka paket “nasi telur 10.000”, dan betapa kagetnya ketika isinya nasi putih 1 kepal, sayur timun wortel, dan 1 butir telur rebus masih utuh. Hmmm… akhirnya aku makan sambil membayangkan betapa sehatnya makan nasi plus sayur, dan telurnya hanya aku cuil sedikit setelah itu aku buang bersama dengan bungkus-nya yang cukup bagus. Sekali lagi, dapat pelajaran lagi, jangan diulang beli nasi atau apapun di stasin Cirebon Prujakan. Pelajaran berikutnya, jika pergi naik kereta api, siapkan bekal konsumsi secukupnya, agar tidak usah beli makanan selama di perjalanan, terutama di wilayah Jawa Barat. Karena untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, harga makanan relatif lebih “normal”.

14 Mei 2014 20:30

Sampailah kereta di stasiun Semarang Poncol. Aku langsung menuju toliet di stasiun untuk buang air kecil dan membasuh muka. Perutku masih kelaparan, gara-gara nasi sekepal di Cirebon, tengok kanan-kiri ga ada orang jualan makanan. Aku bertanya ke security, berapa lama kereta berhenti disini, dan dijawab sekitar 40 menit. Karena cukup lama, aku segera menuju keluar stasiun, di depan cukup banyak warung-warung penjual makanan. Bahkan, aku sudah pernah mencoba 2 buah warung disini, dan pada malam itu aku menuju salah satu warung yang terakhir aku kunjungi. Ada bakwan dan tahu isi dengan ukuran jumbo, ternyata harganya cukup 1000 rupiah, aku langsung beli 5. Sayang sekali sudah dingin dan oily banget, namun benar-benar bikin lidah goyang dan perut kenyang. Ya itulah makanan di Jateng & Jatim, nikmat dan terjangkau.

15 Mei 2014 04:00

Sampailah kereta di stasiun Tulungagung. Perjalanan dari Semarang ke Tulungagung tidak banyak yang bisa kuceritakan karena aku lebih banyak tertidur selama di perjalanan. Keluar dari stasiun hari masih gelap, bahkan adzan Subuh belum berkumandang. Aku langsung berjalan kaki menuju ke terminal Tulungagung. Cukup jauh, namun lumayan buat melemaskan otot-otot setelah duduk berjam-jam.

15 Mei 2014 04:30

Sampailah aku di terminal Tulungagung. Ada kejadian menarik, aku bertanya pada seseorang, “Pak, bus ke Trenggalek ada ga?”, trus dia bilang “Wah, lagi ada demo mas, ga ada bus ke Trenggalek”. Untuk aku ga percaya, karena di sebelah barat ada Harapun Baru sedang ngetem. Akhirnya aku naik bus itu, ga beberapa lama kemudian langsung berangkat. Tulungagung – Durenan aku tebus dengan 3000 perak.

15 Mei 2014 05:00

Sampailah aku di terminal Durenan. Disitu sudah menunggu angkutan menuju ke Prigi. Ternyata di dalamnya sudah banyak pedagang-pedagang yang mau jualan di pasar Bandung, Sebo, dan Prigi. Jadi angkutan juga langsung berangkat. Durenan – Prigi aku tebus dengan 12.000 rupiah.

15 Mei 2014 06:00

Sampailah aku di rumah Prigi. Sesampai di rumah, aku langsung mandi dan sarapan. Ngobrol sebentar dengan orang tua dan keluarga. Hari itu rencana aku akan mengajak anak-anak main ke Alun Alun Tulungagung dan membelikan mereka celana panjang, karena celana mereka sudah habis.
Selama di rumah orang tua, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Sesuai rencana, sekitar jam 11.00 kami berangkat ke Tulungagung, sekalian mengantarkan mama ke terminal untuk pulang ke Surabaya. Perjalanan sangat santai, pelan karena untuk mengantisipasi agar Revan tidak mabuk. Sekitar jam 13.00 kami sampai di Tulungagung, langsung menuju ke Harmoni untuk membelikan anak-anak celana panjang. Tidak lama memilih, akhirnya sudah kami dapatkan celana panjang buat anak-anak. Aku tidak lupa beli sepotong kemeja Alisan, karena harganya yang cukup miring, cuma 87.500 perak. Setelah selesai di Harmoni, kami mengajak anak-anak ke alun-alun, karena memang mereka ingin main scooter.

Perjalanan Balik
18 Mei 2014 14:30

Aku berangkat dari rumah Prigi naik sepeda motor ke Durenan. Rencananya sepeda motor aku titipkan di penitipan motor Durenan, dan malamnya akan diambil oleh bapak yang pulang dari Malang. Perjalanan Prigi – Durenan cukup ramai, namun masih lancar. Karena harpitnas, lumayan banyak mobil yang tamasya ke Prigi, bahkan sempat ketemu bus beberapa kali.

18 Mei 2014 15:30

Aku sampai di Durenan. Sepeda motor langsung aku titipkan ke tempat penitipan motor. Aku langsung menuju ke tempat pemberhentian bus di dekat pertigaan Durenan. Kira-kira 10 menit kemudian, datanglah bus Harapan Jaya AC Ekonomi yang penuh sesak. Aku paksakan naik meski tidak dapat tempat duduk.

18 Mei 2014 16:00

Sampailah aku di terminal Tulungagung. Aku bergegas jalan ke depan untuk mencari ojek. Sebelumnya aku biasa naik becak, namun kapok setelah beberapa kali mendapat kesan kurang enak dari tukang becak. Aku pikir tarif 10 ribu sudah cukup untuk terminal – stasiun, namun mereka minta 15 ribu. Sambil berjalan ke depan, ada seorang tukang ojek yang nawarin ke stasiun 10 ribu. Iseng-iseng aku tawar 5 ribu, akhirnya deal dengan tarif 7 ribu. Lumayan lah… Kira-kira 5 menit perjalanan ojek sampailah ke stasiun Tulungagung, namun aku belum bisa masuk, karena sedang ada bongkar muat kereta api Rapih Dhoho. Di dalam stasiun aku sempatkan sholat Ashar karena dari rumah belum aku jamak.

18 Mei 2014 16:25

Kereta Majapahit datang tepat sesuai dengan jadwal yang tertera. Tempat duduk 17A di Gerbong 2 rupanya masih kosong. Karena lapar dan hari sudah sore, aku langsung makan nasi bungkus ayam goreng, sambal goreng tempe, dan oseng pare yang aku bawa dari rumah. Setelah makan, aku langsung tidur, dan jarang bangun hingga sampai ke Jakarta. Mungkin karena capek, atau AC-nya yang nyaman menurutku. Pas banget, ga seperti Gajayana atau Matarmaja. Orang di sebelahku naik dari Kediri, dan waktu malam dia tidur selonjoran di bawah.

19 Mei 2014 05:30

Sampailah kereta api di stasiun Pasar Senen. Terlambat setengah jam dari jadwal di tiket. Yah lumayan lah, daripada terlambat 2 jam seperti sebelum-sebelumnya.

Tuesday, May 13, 2014

Mudik Idul Adha 2014 H

Kali ini ada sesuatu yang cukup istimewa dengan perjalan mudik Idul Adha. Karena tidak mendapatkan tiket Gajayana, aku mudik dengan estafet menggunakan sepur dan bus. Kisah perjalanan aku bagi menjadi 2 bagian, yaitu Kisah Perjalanan Mudik dan Kisah Perjalanan Balik.

Kisah Perjalanan Mudik

Mudik kali ini aku lakukan pada tanggal 10 Oktober 2014, tepatnya jam 19.30 aku keluar dari kost. Teman-teman kost yang pada nonton TV pada teriak “jangan lupa bawa gethuk pisang ya”. “Kayaknya ga mungkin deh aku bawa gethuk pisang, secara aku tidak akan ke Kediri”, begitu gumamku dalam hati. Namun aku tetap menjawab “ya, beres”.

Sambil membawa tas yang lumayan berat, berisi Bio Janna dan habbah untuk keluargaku tercinta, aku menyusuri jalanan Setiabudi menuju jalan Rasuna Said untuk menumpang P20. Teriakan tukang ojek tak kuhiraukan, toh waktu masih sangat lama. Di tengah perjalanan, tak lupa aku mengisi perut dulu dengan makan soto Kudus (nulisnya sih soto Lamongan), yang kutebus dengan 10 ribu plus 1 buah krupuk uyel. Belakangan aku baru tahu klo plus 1 atau 2 krupuk uyel tetap 10 ribu, ternyata uang 1000 benar-benar sudah tidak dihargai sekarang. Kira-kira pukul 20.00 aku sudah berdiri di pinggir jalan Rasuna Said, namun P20 yang kutunggu ga nongol-nongol juga, bolak balik yang lewat P66. Khas banget syndrom angkutan umum, jika tidak ditunggu nongol, jika ditunggu ga nongol-nongol. Setelah menunggu hampir 30 menit, akhirnya P20 datang juga dalam kondisi lumayan penuh.

Kembali ke Jakarta

Judul lengkapnya seharusnya adalah “Kembali ke Jakarta dengan Gajayana”. Hari Minggu, 31 Maret 2013, aku kembali ke Jakarta lewat Tulungagung. Liburan 3 hari di Prigi terasa begitu singkat, meski tidak ada acara kemana-mana, hanya di rumah dan 2 kali ngajak main anak-anak ke Pantai Prigi.

Suasana Prigi masih seperti dulu, sejuk, segar, dan sepi, apalagi saat itu tidak musim panen ikan. Meski hutan sudah berubah fungsi menjadi tegalan, namun suasana kesegaran desa masih terasa, jika dibandingkan dengan kesegaran udara ibukota dan Surabaya. Jika dibandingkan dengan kesegaran udara waktu aku masih kecil dulu (tahun 80-an), tentu jauh berbeda.

Prigi memiliki beberapa makanan khas yang jarang ditemui di tempat lain. Salah satu-nya adalah sompil. Sompil menyerupai lontong sayur jika di Jakarta, namun dengan citarasa yang jauh berbeda. Sayur blendrang (dimasak beberapa hari), plus irisan singkong goreng, dengan kuah santan yang pedas, manis menjadikan sompil di Prigi sangat khas, tidak bisa ditemukan di tempat lain. Entah darimana asal usul sompil ini. Padahal pada menu sehari-hari, bumbu dengan citarasa manis pedas yang dipakai di sompil ini tidak pernah ditemukan di menu rumahan masyarakat Prigi. Pada saat musim ikan, sayurnya kadang-kadang dicampur juga dengan ikan ilaran (ikan asap), tentu tambah nikmat, ada nuansa gurih-nya. Kekhasan sompil ditambah dengan bungkusnya yang berupa daun jati dilapisi dengan daun pisang.

Masyarakat Prigi sudah terbiasa menyantap sompil sebagai menu sarapan, karena memang dijualnya hanya pada pagi hari di pasar rakyat. Namun seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin dinamis, sompil telah dijual di warung-warung selama hampir 24 jam. Mungkin nilai negatif-nya, ini akan merusak budaya tata cara makan sompil. Cieee…, sok resmi hanya untuk makan sompil. Namun, ya itulah sebenarnya, bahwa sompil pada jaman dahulu hanya sebagai menu sarapan. Sama seperti menjamurnya warung lodo, yang dahulu hanya muncul pada waktu slametan.